KUBU RAYA, sampankalimantan.id – Hutan mangrove di Desa Dabong menjadi saksi bisu bagaimana masyarakat setempat berupaya melestarikan alam sambil meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Salah satu langkah nyata yang diambil oleh masyarakat adalah budidaya kepiting melalui sistem silvofisheri yang menggabungkan pemeliharaan tambak dengan pelestarian hutan mangrove.
Di desa ini, peran nelayan sangat krusial dalam menjaga keberlanjutan budidaya kepiting. Mereka bertugas menangkap bibit kepiting dari alam, yang biasanya memiliki berat antara 30-50 gram. Bibit ini bukan hanya sekadar hasil tangkapan, tetapi juga menjadi investasi berharga bagi masa depan perekonomian desa. Setelah ditangkap, bibit kepiting tersebut dibeli oleh Mulyadi, Ketua KUPS Silvofisheri Dabong Berkah, untuk dibesarkan di tambak yang dikelola oleh kelompok masyarakat setempat.
Tambak ini dirancang dengan konsep silvofisheri, yang menggabungkan budidaya perikanan dengan pelestarian hutan mangrove. Di tengah tambak, ditanam pohon mangrove jenis Rizophora, yang tidak hanya berfungsi sebagai pelindung pantai tetapi juga menciptakan lingkungan yang menyerupai habitat alami kepiting.
“Tambak yang bagus itu tambak yang mirip dengan ekosistem aslinya. Makanya, kami tanam mangrove jenis Rizophora di tengah tambak biar kepiting punya tempat berlindung. Ini bukan cuma bikin kepiting tumbuh sehat, tapi juga bantu lestarikan hutan mangrove yang jadi habitat asli mereka,” ungkap Mulyadi, Ketua KUPS Silvofisheri Dabong Berkah.
Proses pembesaran kepiting di tambak berlangsung selama 3-4 bulan. Dalam periode ini, kepiting yang awalnya berukuran kecil dapat tumbuh hingga mencapai berat ideal antara 200-300 gram. Siklus pembesaran ini memungkinkan panen dilakukan tiga kali dalam setahun, yang tidak hanya menjamin kelangsungan populasi kepiting tetapi juga memberikan penghasilan yang stabil bagi masyarakat. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada hasil ekonomi, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan, memastikan bahwa sumber daya alam yang ada tetap lestari untuk generasi mendatang.
Namun, di setiap tahap panen, Mulyadi dan kelompoknya menghadapi sebuah keputusan penting. Jika ditemukan kepiting betina yang sedang bertelur, kepiting tersebut tidak dijual ke pasar, melainkan dikumpulkan dan dibeli oleh Mulyadi. Kepiting betina ini kemudian dilepaskan kembali ke habitat aslinya di hutan mangrove. Langkah ini dilakukan untuk memastikan bahwa kepiting-kepiting tersebut dapat berkembang biak dengan baik di alam, menjaga keseimbangan populasi kepiting di sekitar Desa Dabong.
Hutan mangrove menyediakan kondisi optimal bagi kepiting betina untuk bertelur, terutama di daerah muara yang memiliki kadar garam tinggi sekitar 25-30 unit dan suhu air hangat antara 26-30°C. Kombinasi alami ini mendukung perkembangan larva kepiting dari tahap awal hingga dewasa, memastikan populasi tetap sehat dan berkelanjutan. Kondisi ini tidak hanya penting untuk siklus hidup kepiting, tetapi juga mendukung upaya budidaya kepiting secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat, menjadikan hutan mangrove sebagai ekosistem yang vital bagi kelangsungan hidup dan ekonomi.
Dengan mengadopsi sistem silvofisheri, Desa Dabong tidak hanya berhasil menjaga kelestarian hutan mangrove tetapi juga mengembangkan ekonomi masyarakat melalui budidaya kepiting yang berkelanjutan. Inisiatif ini merupakan contoh nyata bagaimana konservasi lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan seiring, membuktikan bahwa keberlanjutan lingkungan adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik.