SAMPANKALIMANTAN.ID – Indonesia memiliki kapasitas alamiah yang luar biasa dalam menahan emisi gas rumah kaca, terutama melalui kekayaan sumber daya alamnya.
Tiga ekosistem utama—hutan tropis, lahan gambut, dan ekosistem mangrove—menjadi fokus penting dalam diplomasi lingkungan dunia.
Hutan tropis berfungsi sebagai paru-paru dunia dengan menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar melalui vegetasi lebatnya.
Lahan gambut menyimpan cadangan karbon organik yang sangat tinggi di dalam tanahnya.
Sementara itu, ekosistem mangrove tidak hanya menyerap karbon biru di wilayah pesisir, tetapi juga melindungi garis pantai dari abrasi, badai, dan bencana laut lainnya.
Ketiga ekosistem tersebut berperan besar dalam penyerapan karbon alami atau carbon sink, menjadikan Indonesia sebagai salah satu aktor utama dalam diplomasi lingkungan global.
Mekanisme diplomasi lingkungan telah dijalankan secara konsisten.
Salah satu instrumen paling penting adalah Paris Agreement (2015), yang mewajibkan setiap negara mencapai target penurunan emisi melalui Nationally Determined Contributions (NDC), termasuk melalui mekanisme perdagangan karbon.
Dalam konteks tersebut, Indonesia berkontribusi aktif dengan target pengurangan emisi sebesar 31,89% secara mandiri dan 43,2% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Menurut Enviro News, hingga tahun 2025 Indonesia telah berhasil merehabilitasi sekitar 3,7 juta hektare lahan gambut dalam kawasan konsesi, serta lebih dari 52.000 hektare lahan gambut milik masyarakat melalui program Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG).
Sementara itu, Blue Nature Capital melaporkan bahwa proyek restorasi mangrove seluas 1.729 hektare di Sulawesi Tenggara berhasil menggabungkan pelestarian ekosistem pesisir dengan pemberdayaan komunitas lokal.
Proyek ini melibatkan 35 desa dan didukung oleh Blue Carbon Accelerator Fund (BCAF).
Namun, berbagai tantangan masih perlu dihadapi.
Restorasi mangrove kerap terganggu oleh alih fungsi lahan menjadi tambak serta pembangunan pesisir yang menyebabkan penurunan kualitas hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
Keterbatasan keterampilan teknis serta rendahnya partisipasi masyarakat turut menghambat keberlanjutan program.