
A. Rahim, salah seorang petambak penerima bantuan benur.
Dari sisi penerima manfaat, para petambak menyambut inisiasi dengan baik.
Salah satunya adalah A. Rahim, salah seorang petambak penerima bantuan benur.
“Terima kasih atas kerja samanya, mudah-mudahan kegiatan ini bisa berkelanjutan. Selama ini kami sudah mengelola tambak lebih dari 20 tahun, tapi belum pernah mendapatkan hasil yang memuaskan. Kami berharap melalui kerja sama ini ada ilmu baru yang bisa kami pelajari, terutama tentang cara pengapuran dan pencegahan racun, karena selama ini kami hanya memberikan pengalaman sendiri,” ungkapnya.
Rahim juga menjelaskan proses rehabilitasi tambak yang ia lakukan bersama tim kecil beranggotakan empat orang.
“Proses biasanya dimulai dengan rehabilitasi tambak, lalu dikapur tohor selama satu bulan. Setelah itu dilakukan peracunan ramah lingkungan untuk membersihkan hama, udara ditahan sebentar lalu dibuang. Setelah bersih, barulah tambak diberi kapur gromet. Itu semua butuh kerja sama tim,” jelasnya.
Ia menambahkan, keinginan program ini sangat diharapkan karena mencakup masa depan ekonomi keluarga dan masyarakat desa.
“Kami berharap program ini jangan sampai berhenti di sini saja, tapi bisa terus berjalan. Karena selain membantu kami dalam permodalan dan bibit, program ini juga memberi semangat baru. Kami ingin hasilnya nanti bisa membawa manfaat bukan hanya untuk kami sebagai petambak, tapi juga untuk desa Dabong secara,” tutur Pak Rahim.
Bagi Pak Rahim, pelaksanaan program ini menjadi titik awal yang membangkitkan optimisme baru. Dukungan ilmu, pendampingan, dan kerja sama dianggap sebagai kunci yang akan membawa perubahan nyata dibandingkan cara tradisional yang selama ini dijalankan.
Sebagai informasi bantuan, tiga petambak penerima bibit udang vaname ini adalah Pak Junaidi, Pak Hatta, dan Pak A. Rahim. Mereka kini menjadi pionir dalam pelaksanaan program pengelolaan tambak berkelanjutan di Desa Dabong, yang diharapkan dapat memperkuat ekonomi masyarakat sekaligus menjaga kelestarian mangrove.

