KUBU RAYA, sampankalimantan.id – Sebagai kawasan peralihan antara daratan dan laut, kawasan pesisir menghadapi berbagai tantangan. Kawasan pesisir tidak hanya dipandang sebagai sumber kehidupan masyarakat, tetapi juga sebagai ekosistem penting yang perlu dijaga. Sayangnya, tekanan dari aktivitas manusia dan dampak perubahan iklim seperti banjir dan gelombang tinggi sering kali membuat keberlanjutan kawasan pesisir menjadi rentan terhadap degradasi.
Sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan ini, konsep silvofishery atau “wanamina” diusung, yakni pendekatan yang menggabungkan pengelolaan hutan mangrove dengan budidaya perikanan. Dengan pendekatan ini, masyarakat dapat memanfaatkan mangrove sebagai benteng alami yang tidak hanya digunakan untuk melindungi pesisir dari abrasi dan badai, tetapi juga menyediakan habitat yang ideal bagi spesies ikan dan udang.
Selain manfaat ekologisnya, mangrove juga diketahui memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap karbon, yaitu 4-5 kali lebih efektif dibandingkan hutan daratan. Penelitian menunjukkan bahwa setiap hektar tambak silvofishery dengan tutupan mangrove sekitar 44-80% dapat menyimpan sekitar 40-50 ton karbon, sehingga menjadikannya langkah nyata dalam mitigasi perubahan iklim.
Implementasi silvofishery ini juga memungkinkan pengaturan rasio antara luas tambak dan vegetasi mangrove disesuaikan dengan prioritas pengelolaan, apakah untuk tujuan ekonomi atau ekologis. Banyak studi menyarankan rasio tambak dan mangrove sebesar 60:40, namun fleksibilitas rasio ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, memastikan bahwa keberlanjutan dapat tercapai tanpa mengorbankan salah satu tujuan.
Di Desa Dabong, Kubu Raya, contoh keberhasilan silvofishery dengan kombinasi budidaya kepiting dapat ditemukan. Dengan menerapkan silvofishery, mangrove yang terjaga memberikan lingkungan yang ideal untuk menjaga keberlanjutan populasi ikan dan udang, sehingga kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat ditingkatkan tanpa merusak lingkungan.
Keberhasilan ini didukung oleh keterlibatan aktif masyarakat. Nelayan lokal berperan penting dalam memastikan keberlanjutan budidaya kepiting. Mereka menangkap bibit kepiting berukuran 30-50 gram dari alam yang kemudian dibeli oleh KUPS Silvofisheri Dabong Berkah untuk dibesarkan di tambak kelompok masyarakat. Tambak tersebut didesain menyerupai ekosistem alami, di mana pohon mangrove Sonneratia sp. ditanam di tengah tambak untuk menciptakan habitat yang kondusif bagi kepiting.
Proses pembesaran kepiting ini dilakukan selama 3-4 bulan hingga kepiting mencapai ukuran panen ideal 200-300 gram. Dengan siklus ini, panen dapat dilakukan hingga tiga kali setahun, sehingga pendapatan yang stabil dapat diperoleh masyarakat. Selain itu, kelompok KUPS Dabong Berkah memastikan bahwa kepiting betina bertelur tidak dijual, melainkan dikembalikan ke habitat mangrove untuk menjaga keseimbangan populasi. Dengan praktik ini, kesejahteraan ekonomi dan konservasi dapat diperlihatkan berjalan selaras.
Penerapan konsep silvofishery di Desa Dabong adalah bukti nyata dari prinsip yang diusung SAMPAN Kalimantan: konservasi lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan beriringan. Melalui edukasi tentang manfaat ekosistem mangrove, masyarakat didorong untuk tidak hanya menjaga mangrove demi lingkungan, tetapi juga demi kesejahteraan bersama. Dengan semakin banyaknya wilayah pesisir yang menerapkan sistem ini, diharapkan silvofishery dapat berkontribusi lebih luas dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan pesisir.